Namanya Siti Zaleha, Peziarahnya Kebanyakan Warga Tionghoa?
Diujung jalan Silaberanti terdapat sebuah makam tua yang usianya diperkirakan mencapai 200 tahun. Makam ini dipanggil masyarakat dengan sebutan makam buyut Silaberanti. Tak banyak catatan sejarah terkait makam tersebut. Hanya saja, buyut tersebut diyakini bernama Siti Zaleha. Banyak warga dari luar kota datang berziarah. Anehnya, kebanyakan mereka adalah warga Tionghoa.
Perjalanan menempuh makam buyut Silaberanti terasa cukup sulit. Ketika koran ini mencari makam tersebut Rabu sore (11/1), masuk dari Gang Slamet diujung jalan Silaberanti, Kelurahan Silaberanti, Kecamatan SU I, air setinggi mata kaki sudah menghadang.
Sebelum mencapai makam, pada sebuah jalan tanah, air sudah meninggi hingga batas dengkul. Bukan saja masalah hujan membuat air masuk ke jalan. Rupanya, makam tersebut berada di pinggir sungai Aur. Air dari anak sungai Musi inilah yang meluap hingga ke jalan.
“Musim hujan seperti ini tiap sore air (sungai,red) pasang. Jadi jalan terendam. Kalau pagi, airnya surut. Jalannya terlihat kok,” ungkap seorang warga.
Ketika air pasang, yang terlihat, makam ibaratnya seperti berada diatas air. Selain berada di bibir sungai, makam tersebut juga dikelilingi rawa yang terendam air.
Dibagian teras depan makam terlihat kotor oleh lumpur sungai. Namun di bagian dalam tampak bersih terawat. Selain terawat, lantainya di keramik.
Nah, sang penjaga makam, bernama Hasan (56) akrab dipanggil Mang Hasan. Kondisinya sangat memprihatinkan. Pria asal Jawa ini sejak kecil tidak bisa melihat. Pendengarannya pun sedikit terganggu. Bicaranya dengannya harus dengan suara extra keras.
Sebatas Cerita Tutur
Tak banyak didapat dari mulut Mang Hasan seputar sejarah buyut Silaberanti. Apalagi, dirinya termasuk baru menjadi kuncen. Sejak tahun 2006 lalu.
Bukanya karena mendapat wangsit, atau diturunkan dari orang tuanya seperti penjaga makam pada umumnya, Mang Hasan mengaku menjadi kuncen karena terpanggil untuk merawat. Karena setelah penjaga makam sebelumnya meninggal, tidak ada orang yang merawat makam tersebut.
Tak seperti kuncen lain yang sekedar menjadi penjaga, Mang Hasan tampaknya sekalian tinggal dalam makam. Aktivitas makan, minum dan tidurnya tampaknya berada dalam makam tersebut.
Meninggal tahun 1811. Itulah yang pasti diketahui Mang Hasan dari orang dalam makam tersebut. Ketika kecil, ia pernah melihat langsung tulisan pada batu nisan yang menerangkan tahun meninggalnya sang buyut. Lain dari keterangan tersebut yang disampaikan Mang Hasan hanya didapat dari keterangan dari mulut ke mulut (cerita tutur, red).
Apa saja? Seperti nama, dikatakannya Siti Zaleha. Siapa Siti Zaleha hingga kini menjadi misteri. Dari namanya diyakini ia sebagai muslim. Bahkan seorang muslim yang taat beragama, suka menolong sesama, membuatnya hingga kini dihormati.
Itu terlihat dari orang-orang yang datang berziarah ke makam. Layaknya kebanyakan makam keramat, tentu saja orang datang meminta kepada sang pencipta. Hanya saja melalui makam tersebut, diyakini cepat terkabul.
Anehnya, warga Palembang sendiri tak banyak berziarah. Keterangan Mang Hasan, ditambah Ruslan (56) yang sejak tahun 1960 tinggal di dekat makam, orang luar malah banyak menziarahi makam buyut Silaberanti.
Mereka berdatangan dari Baturaja, Muara Enim, Sungai Lilin, Jambi hingga pulau Jawa. Dari keterangan Ruslan yang banyak berbincang dengan peziarah mereka umumnya seperti mendapat pesan atau panggilan. Entah melalui mimpi atau bisikan, mereka diminta datang berkunjung. Untuk berobat dan ragam keperluan lain. Itu terjadi sejak dirinya masih kecil hingga berkepala lima saat ini.
Tanda tanya besar karena makam ini banyak dikunjungi oleh warga keturunan Tionghoa. Memang banyak meyakini Siti Zaleha ini merupakan warga keturanan. Alasannya banyak orang-orang Tionghoa yang secara rutin (tiap tahun) mengunjungi makam tersebut.
Anehnya, sebelum mengunjungi makam Siti Zaleha, mereka terlebih dulu mendatangi makam perempuan bernama Siti Fatimah di Pulau kemarau. Dari rangkaian inilah, warga sekitar menyakini jika Siti Zaleha merupakan saudara Siti Fatimah.
Tak Dikenal Tokoh Masyarakat Tionghoa
Cerita ini tentu saja masih perlu banyak dikaji. Apalagi sosok Siti Fatimah, putri Raja asal Palembang hanya dikenal sebatas legenda.
Apalagi, seputar banyaknya warga Tionghoa berziarah ke makam buyut Silaberanti, ternyata malah tidak diketahui para tokoh masyarakat Tionghoa di Palembang. Ketika koran ini menghubungi Fauzi Thamrin, yang kini menjadi Dewan Kehormatan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), ia baru mengetahui tentang makam tersebut. Begitupun Harun SE SH MH, Humas Tri Dharma Komda Sumsel.
Pun begitu, cerita seputar misteri makam buyut Silaberanti sudah mengakar pada warga sekitar. Dari cerita warga, sejak dulu aroma mistis selalu menyertai. Cerita Ruslan, ketika kecil terdapat sebuah lubang pada makam tersebut. Orang berziarah yang memasukan tangannya ke lubang tersebut, akan mendapatkan hal yang berbeda.
“Ada yang dapat bunga pertanda baik. Kalau jelek, mereka masukin tangan dapat buntang tikus atau ular pertanda buruk. Ada juga tongkat dalam makam tersebut. Tongkat itu kalau diukur oleh peziarah panjangnya berubah. Kadang memanjang, bisa juga memendek. Sekarang, lubang serta tongkat itu sudah hilang,” ujar Ruslan.
Selain itu, ketika kecil, ketika sungai Aur masih lebar, Ruslan mengaku pernah melihat buaya putih diyakininya sebagai penjaga makam buyut Silaberanti. “Buaya putih itu aku lihat berkelahi dengan buaya biasa. Sekarang tidak nampak lagi karena sungai aur sudah menyempit,” tandasnya.
Lain dari itu, cerita seorang warga dulu ketika belum banyak perumahan di sekitar makam, banyak monyet berada di sekitar makam. Ketika rumah penduduk mulai dibangun, monyet-monyet tersebut pergi. Itu pun ke makam Ratu Bagus Kuning kawasan Plaju.
“Tahun 2005 dan 2010 lalu ketika ada banjir besar, ada monyet besar mungkin dari makam Ratu Bagus Kuning datang ke kampung kami. Monyet itu datang sebelum terjadinya banjir,” ungkap salah seorang warga.
Nama jalan Silaberanti sendiri diyakini berasal dari sang buyut. Yang ketika meninggal tengah duduk bersila. “Sila artinya bersila. Beranti itu tengah berhenti. Dari orang-orang tua, buyut ini merupakan putri yang merantau dan tiba di Palembang tempatnya dimakamkan sekarang bersama panglima dan pengawalnya. Salah satu makam disamping buyut itu kami tahu seorang Panglimanya. Dia meninggal waktu bersila ditambah beranti biar warga luar itu mampir, sehingga jadi silaberanti,” tandas warga tersebut. (wwn)
sumber : lmb35.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar