Yang Terkikis Zaman, Tekan Pemerintah, Butuh Perda
“Palembang Kota Internasional, Sejahtera dan Berbudaya 2013”. Kalimat tersebut tentu tidak asing lagi terdengar. Ini merupakan visi dan misi Walikota dan Wakil Walikota terpilih Palembang sejak memenangkan Pilkada tahun 2008 lalu. Banyak sudah kebudayaan mendapat perhatian, terpelihara hingga terexpose dan menjadi bagian penting penunjang pariwisata daerah. Di sisi lain, masih banyak juga yang belum mendapat perhatian dari Pemerintah hingga terkesan terabaikan bahkan diambang kepunahan akibat arus globalisasi yang mengalirkan budaya-budaya asing. Apa solusinya?
Kalangan seniman tergabung dalam Dewan Kesenian Palembang (DKP) bersama sejarawan, budayawan serta praktisi hukum belum lama ini membahas seputar kebudayaan di Palembang yang terus terkikis zaman. Banyak sebab diutarakan. Seputar masalah globalisasi, kurangnya perhatian pemerintah serta masyarakat Palembang sendiri membuat masalah kebudayaan Palembang, dikenal sejak zaman kerajaan Sriwijaya, bernuansa religius ketika dibawah kerajaan Palembang Darussalam terus menghilang.
Dari dokumentasi Sumeks Minggu, hadir sejak tahun 2010 lalu dengan rubriknya Hitam Putih, beberapa kebudayaan Palembang jelas kurang mendapat perhatian pemerintah. Dimulai dari Wayang Palembang. Kebudayaan diadopsi dari pulau Jawa ini dulunya booming. Kini, dalangnya tinggal satu, Kgs Wirawan Rusdi, warga Jl Sido Ing Lautan, Rt 10, Rt 10, No 243, Lrg Cik Latah, Kelurahan 36 Ilir, Tangga Buntung. Berbekal beban moral melestarikan budaya lokal, akulturasi Jawa-Palembang yang sempat diembang ayah serta kakeknya, Wirawan berhasil bertahan. Itupun berkat binaan Persatuan Perdalangan Indonesia (Pepadi) Sumsel.
Budaya lain, akulturasi Jawa dan Melayu, menjadi bagian masyarakat sejak zaman kerajaan Palembang Darussalam ialah bebaso. Atau sering disebut bahasa Keraton, bahasa Bari, atau bahasa kulo iki. Hingga pertengahan abad ke-20, bahasa lembut, penuh sopan santun, menunjukan jati diri daerah Palembang masih sering terdengar. Kini, hanya dikuasai segelintir orang tua asli Plembang. Tanpa regenerasi, bahasa inipun diambang punah. Sedangkan rencana Pemkot Palembang menjadikannya sebagai mutan lokal di Sekolah Dasar (SD) agar dikuasai generasi muda tak kunjung terealisasi.
Untuk kesenian seperti Dulmuluk, para seniman merasa terpinggirkan. Keterangan Jonhar Saad, sejak mendalami Dulmuluk tahun 1962, mendirikan sanggar Harapan Jaya tahun 1982, mereka dan seniman lain harus berjuang sendiri agar kesenian ini terus hidup. Tanpa bantuan pemerintah, mereka bertahan dengan undangan masyarakat meski uang didapat sangat minim.
Lembaran sejarah perjuangan Palembang pada pada bungker Jepang di Jl AKPB H Umar, Rt 21, Kelurahan Rimba Kemuning, Kecamatan Kemuning, Km-5, Palembang pun terancam hilang.Meski meninggalkan kenangan pahit, bungker dibangun tahun 1940 an ini sejatinya bisa dijadikan objek wisata. Seperti dilakukan pemerintah Sumatera Barat (Sumbar). Dari keterangan masyarakat setempat, ternyata banyak warga Jepang, keturunan tentara yang pernah bertugas di Palembang, datang beramai-ramai berkunjung.
Belum lagi masyarakat umum yang penasaran dengan isu bungker yang konon kabarnya tembus ke bungker di RSK Charitas. Sang pemilik tanah dibungker tersebut dibuat bingung oleh sikap pemerintah. Pemilik dilarang membangun di kawasan dengan alasan bungker tersebut memiliki nilai sejarah, namun pemerintah samasekali tidak memiliki gerakan nyata. Sedangkan kondisi bungker sudah banyak mengalami kerusakan dan tanahnya terus dikeduk warga.
Nah, cerita suram terjadi pada makam Komplek Pangeran Krama Djaya di Jl Segaran, Lrg Gubah Pangeran, belakang SDN 46, Kecamatan Ilir Timur (IT) I. Makam ini sejak lama dirusak diduga untuk kepentingan bisnis semata. Pengrusakan makam ini diyakini sebagai bentuk penghilangan sejarah. Meski banyak pihak menekan pemerintah membenahi masalah ini, toh sosok Pangeran Krama Djaya dianggap sebagai orang berjasa bagi perjuangan wong Plembang melawan penjajah hingga sempat hendak diusulkan almarhum budayawan/sejarawan Djohan Hanafiah sebagai Pahlawan Nasional tetap terabaikan.
Bahkan, keterangan salah satu zuriatnya, RH Abdullah Roni Azhari kemarin (21/1), kondisi makam, sekarang jauh lebih parah. Makam sudah rata dengan tanah, sekeliling komplek tertutup rapat oleh seng. “Entah jasad makam di komplek itu sekarang dimana?,” ungkap Roni bertanya-tanya. Pangeran Krama Djaya sendiri merupakan menantu SMB II, tercatat sebagai penguasa Palembang tahun 1823 hingga 1825. Akibat bertentangan dengan Belanda, sang pangeran dibuang ke Purbolinggo (Banyumas).
Budaya bersifat religi, ziarah kubra, dilakukan para pecinta ulama serta au’liya, terbukti menyedot belasan ribu umat muslim jelang puasa ramadhan pun belum mendapat perhatian. Panitia ziarah kubra sejak lama menginginkan wisata religi ini masuk dalam agenda tetap pemerintah agar dapat lebih luas terexposes ke berbagai daerah hingga luar negeri. Berulang kali melakukan pertemuan, usaha mereka belum membuahkan hasil.
Butuh Anggaran Serta SDM
Selain masalah diatas, kalangan seniman, seperti Vebri Al Lintani mengungkapkan banyak contoh kebudayaan kecil yang biasa digunakan masyarakat luas menghilang. Seperti “Nenggung” yang merupakan nyanyian berisi dizikir Kyia Merogan digunakan ibu-ibu zaman dulu untuk menidurkan anak tak lagi terdengar. ‘Kebudayaan Palembang sebenarnya identik dengan religi terutama Islam. Tapi ini mulai terkikis,” ungkapnya kepada Sumeks Minggu belum lama ini.
Mempertahankannya tugas banyak pihak. Namun pemerintah, dalam pandangannya harus berada di garis terdepan. Kenyataan di lapangan, Pemkot Palembang melalui kepala daerahnya memiliki visi misi jelas. Membangun kota Palembang sebagai kota Internasional, Berbudaya dan Religius. Hanya saja, sejauh ini dinilainya, porsi untuk kebudayaan bukan prioritas utama. Bisa dilihat minimnya anggaran bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar). “Dana di Budpar pun kadang dikelola oleh orang-orang yang tidak berkompeten. Terkadang mereka mengadakan acara kebudayaan, itupun tidak melibatkan kalangan seniman, budayawan hingga hasilnya terkesan apa adanya,” ujar Vebri.
Oleh sebab itu, kini kalangan seniman tergabung dalam DKP bersinergi dengan kalangan budayawan serta sejarawan menggagas Peraturan Daerah (Perda). Mengatur masalah penangangan secara khusus kebudayaan Palembang. Dengan ruang lingkup, bahasa (bahasa Melayu Palembang) dan aksara Palembang (Aksara Arab Melayu, atau aksara Ka-Ga-Nga sebagai alternative). Kesenian yang meliputi seni tari, seni musik, seni sastra, seni teater, seni rupa dan seni film & audio visual yang berakar seni Palembang Darussalam. Kemudian, kepurbakalaan, kesejarahan, nilai-nilai tradisional dan museum. Terakhir, pakaian daerah, upacara perkawinan, ornamen bangunan/ragam hias.
Dengan adanya perda ini, kebudayaan Palembang dapat dijaga dan dioptimalkan. Selain membutuhkan SDM handal dengan melibatkan langsung para seniman, budayawan, sejarawan tidak melulu pegawai dari Dinas Budpar, masalah budaya ini tentu saja membutuhkan dana. “Dalam Perda itu nanti akan dibuat anggaran minimal yang harus dikucurkan Pemerintah mendukung masalah kebudayaan ini. Sekarang kita susun draft. Nanti bisa dari DPRD atau Pemkot yang menjebolkannya,” jelas Vebri.
Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumsel, Kemas Ari Panji SPD, MSi saat dimintai tanggapannya langsung mendukung gagasan yang menurutnya sudah cukup lama terdengar. Karena dinilainya memang cukup banyak kebudayaan Palembang yang tidak terpelihara bahkan diambang kepunahan. Perda tersebut dinilainya sebagai payung hukum. Yang nantinya harus ditaa’ti oleh pemerintah. Tanpa payung hukum inilah, selama ini pemerintah dapat terus mengelak mengurusi masalah kebudayaan terdiri dari cipta karya manusia, religi, kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sosial kekerabatan, sejarah dan ilmu pengetahun dengan alasan minimnya dana.
“Di Lampung Perda ini sudah ada. Berarti, payung hukum membuat Perda pasti sudah ada. Memelihara kebudayaan tentu butuh dana, masalah dana ini kan tidak melulu mesti dari APBD. Bisa dicari dengan meminta bantuan perusahaan, BUMN ataupun dana pusat,” tandasnya.
Sedangkan Advokat Chairil Syah SH, yang juga Ketua Umum Serikat Hijau Indonesia (SHI) menilai kebudayaan merupakan hal universal. Wajib dilindungi dan harus mendapat dukungan kalangan eksekutif serta legislatif. Itupun sesuai dengan visi misi kepala daerah Palembang. Jika melihat jabaran kebudayaan yang begitu luas, adanya gagasan Perda ini paling tidak bisa menekan pemerintah untuk berbuat lebih banyak. “Mana yang bisa dilakukan lakukan dulu. Sekarang kan yang dibutuhkan bukti,” tandasnya. (wwn)
Antara Keinginan dan Keterbatasan
Terkait gagasan Perda Kebudayaan ini, Wakil Walikota Palembang, H Romi Herton SH MH tidak berkomentar banyak. Ditemui koran ini usai menghadiri Ulang Tahun Walikota Ir H Eddy Santana Putra dua hari lalu, Romi hanya mengatakan akan mempelajari gagasan terlebih dulu. “Nanti kita pelajari dulu ya,” ujarnya sembari berlalu masuk ke mobil.
Sementara Kadin Budpar Palembang, Mirza Fansyuri mengaku mendukung gagasan tersebut. Dengan catatan ada payung hukum untuk membuat Perda tersebut. Dikatakan Mirza, Pemkot Palembang memiliki keinginan memajukan kebudayaan Palembang. Namun diakuinya, dibalik keinginan tersebut ada keterbatasan.
Pihaknya sejauh ini telah memiliki rencana kerja serta anggaran. “Masalah makam buyut Silaberanti, Ariodillah itu akan kita teliti. Kalau budaya yang hilang itu budaya mana?. Budaya berkendara, budaya malu, agama, berpakaian, itu tidak semua dihitung dengan duit,” tandasnya.
Sementara Ketua Komisi IV DPRD Palembang, Agus Tridasa mendukung gagasan tersebut. “Kalau ada payung hukumnya tidak masalah. Cuma tidak semua kebudayaan tidak diperhatikan. Banyak yang sudah dapat perhatian. Kalau memang ada yang belum itu karena masalah di pemerintahan tidak hanya budaya. Pendidikan, kesehatan juga perlu,” ujarnya cepat.
Jika memang memungkinkan, Agus menilai eksekutif lebih tepat untuk membuat Perda ini. “Kalau eksekutif lebih simple. Sedangkan legislatif urusannya lebih panjang,” tukasnya. (wwn)
lebih ribet. jika memang ada payun ituJika dikatakan banyak kebudayaan terkikis dan diambang kepunahan Mirza balik bertanya budaya dimaksud kalanganpihaknya kan
Romi Herton, kita akan pelajari dulu. Manfaatnya, baik buruknya,
Agus Tridasa, ini keterkaitan menyikapi isu, karena mereka fokus ke sana, tp pemerintah banyak, anak jalanan, pendidikan, dll.setuju dak budaya dinomor sekian, tidak seperti itu, banyak kebudayaan hilang, mungkin budaya cukup banyak idak terperhati semua
- Dkp, mengungkapkan isu buat Perda Kebudayaan, ibarat, minimal anggaran, untuk memelihara selagi tidak bertentangan dengan aturan, PP, UU Kepres, atau Dinas Pariwisata Pusat atau peraturan menteri, kalau ada pijakan, silahkan,
- Kalau DPRD inisiatif lebih panjang, fraksi setuju, baru paripurn, eksekutif lebih simpel, dia buat diajukan di pansur, sepuluh persen dari anggota dewan untuk pengajuan awal dan itu bebas dari semua fraksi,
- Visi misi, internasional dikerja, kalo saya lihat tidak dihilangkan, acara keislaman ada, budaya jg ada, Cuma bnyak faktor, jd mesti terbagi
Thn ini sdh mengkaji lebh dalam buat buku, kebudayaan palembang, akan dikaji mendalam, roundown wisata Palembang, lawang kidul,
Kadin budpar, ada tujuh macam bahasa, religi, ekonomi, seni,,,, bla bla, apa budaya yg hilang budaya berkendara, malu, budaya agama, tidak semua dihitung dengan duit, orang-orang juga ngidupin, sekarang budaya berpakaian, apakah celana, ketat, budaya luas,
Perda ada dua, pemkot atau dprd, mereka pengen kita garap, kita setuju, kalau disetujui dewan jd produk, kalau memang ada aturan, sejauh ini ada dak PP UU, UU kepariwisataan, budaya salah satu bagian pariwisata,
Anggaran budpar, tidak ada dana minus, tahun lalu hampir 7 m sama gaji, naik 30 persen, belum toron DPRD, rancangan ke depan, seperti apa? Dak hapal, kita ada rencana kerja, yg ada anggaran kita sudah siapkan, misalnya buyut silaberanti, kita coba teliti, ariodillah, potensi banyak perlu pendanaan tp pemkot ada keterbatasaan.
sumber : lmb35.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar