Alhamdulillahi wahdah,
wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah…
Prolog
“Masya Allah, akhlak
pak anu bagus banget lho!” kata seorang bapak-bapak ‘mempromosikan’
rekan kerjanya.
“Buktinya apa pak?”
tanya lawan bicaranya.
“Kalau di kantor ia
ramah banget, apalagi kalo sedang berhadapan dengan bosnya!” jawabnya.
“Wuih, bu anu
akhlaknya baik banget!” komentar seorang ibu-ibu tatkala membicarakan salah
satu tetangganya.
“Darimana ibu tau?”
tanya temannya.
“Itu lho jeng,
kalau di arisan RT, dia tuh ramah banget!” sahutnya.
Begitulah kira-kira cara
kebanyakan kita menilai mulia-tidaknya akhlak seseorang. Sebenarnya, pola
penilaian seperti itu tidaklah mutlak keliru. Hanya saja kurang jeli. Sebab,
sangat memungkinkan sekali seseorang itu memiliki dua akhlak yang diterapkannya
pada dua kesempatan yang berbeda. Berakhlak mulia di satu tempat, tetapi tidak
demikian di tempat yang lain. Itu tergantung kepentingannya.
Lantas, bagaimanakah
Islam membuat barometer penilaian kemuliaan akhlak seorang itu? Tulisan berikut
berusaha sedikit mengupas permasalahan tersebut.
Islam Agama Akhlak
Di antara tujuan utama
diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain untuk
menegakkan tauhid di muka bumi, adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak umat manusia. Sebagaimana dijelaskan dengan gamblang dalam sabda
beliau,
“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”
“Aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.” (H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan
al-Albani).
Sedemikian besar
perhatiannya terhadap perealisasian akhlak, Islam tidak hanya menjelaskan hal
ini secara global, namun juga menerangkannya secara terperinci. Bagaimanakah
akhlak seorang muslim kepada Rabb-nya, keluarganya, tetangganya, bahkan
kepada hewan dan tetumbuhan sekalipun!
Di antara hal yang tidak
terlepas dari sorotannya ialah penjelasan tentang barometer akhlak mulia.
Yakni, kapankah seseorang itu berhak dinilai memiliki akhlak mulia. Atau dengan
kata lain: sisi apakah yang bisa dijadikan ‘jaminan’ bahwa seseorang itu akan
berakhlak mulia pada seluruh sisi kehidupannya apabila ia telah berakhlak mulia
pada sisi yang satu itu?
Barometer Akhlak Mulia
Panutan kita Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan permasalahan di atas dalam sabdanya,
“خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي”
“Sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di
antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (H.R. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa
hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan al-Albani menilai hadits
tersebut sahih).
Hadits di atas terdiri
dari dua bagian. Pertama, penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Kedua,
tentang siapakah yang pantas dijadikan panutan dalam hal tersebut.
Dalam kaitan dengan hal
di atas, penulis berusaha sedikit mengupas dua bagian tersebut di atas
semampunya:
Pertama: Mengapa
berakhlak mulia kepada keluarga, terutama terhadap istri dan anak-anak,
dijadikan barometer kemuliaan akhlak seseorang?
Sekurang-kurangnya, wallahu
a’lam, ada dua hikmah di balik peletakan barometer tersebut [disarikan dari
kitab al-Mau'izhah al-Hasanah fi al-Akhlâq al-Hasanah, karya Syaikh
Abdul Malik Ramadhâni (hal. 77-79)]:
a.
Sebagian besar waktu yang dimiliki seseorang dihabiskan di dalam rumahnya
bersama istri dan anak-anaknya. Andaikata seseorang itu bisa bersandiwara
dengan berakhlak mulia di tempat kerjanya –yang itu hanya memakan waktu
beberapa jam saja- belum tentu ia bisa bertahan untuk terus melakukannya di
rumahnya sendiri. Dikarenakan faktor panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk
‘bersandiwara’. Justru yang terjadi, saat-saat itulah terlihat akhlak aslinya.
Ketika bersandiwara,
bisa saja dia membuat mukanya manis, tutur katanya lembut dan suaranya halus.
Namun, jika itu bukanlah watak aslinya, dia akan sangat tersiksa dengan akhlak
palsunya itu jika harus dipertahankan sepanjang harinya.
Kebalikannya, seseorang
yang memang pembawaan di rumahnya berakhlak mulia, insya Allah secara
otomatis ia akan mempraktekkannya di manapun berada.
b.
Di tempat kerja, ia hanyalah berposisi sebagai bawahan, yang notabenenya adalah
lemah. Sebaliknya, ketika di rumah ia berada di posisi yang kuat; karena
menjadi kepala rumah tangga. Perbedaan posisi tersebut tentunya
sedikit-banyaknya berimbas pula pada sikapnya di dua alam yang berbeda itu.
Ketika di kantor, ia
musti menjaga ‘rapor’nya di mata atasan. Hal mana yang membuatnya harus
berusaha melakukan apapun demi meraih tujuannya itu. Meskipun untuk itu ia
harus memoles akhlaknya untuk sementara waktu. Itu tidaklah masalah. Yang
penting karirnya bisa terus menanjak dan gajinya pun bisa ikut melonjak.
Adapun di rumah, di saat
posisinya kuat, dia akan melakukan apapun seenaknya sendiri, tanpa merasa
khawatir akan dipotong gajinya ataupun dipecat.
Demikian itulah kondisi
orang yang berakhlak mulia karena kepentingan duniawi. Lalu, bagaimanakah
halnya dengan orang yang berakhlak mulia karena Allah? Ya, dia akan terus
berusaha merealisasikannya dalam situasi dan kondisi apapun, serta di manapun
ia berada. Sebab ia merasa selalu di bawah pengawasan Dzat Yang Maha melihat
dan Maha mengetahui.
Kedua: Beberapa potret
kemuliaan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap
keluarganya.
Sebagai teladan umat,
amatlah wajar jika praktik keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam bergaul dengan keluarganya kita pelajari. Dan tentu saja lautan kemuliaan
akhlak beliau terhadap keluarganya tidak bisa dikupas dalam lembaran-lembaran
tipis ini. Oleh karena itu, di sini kita hanya akan menyampaikan beberapa
contoh saja. Hal itu hanya sekadar untuk memberikan gambaran akan permasalahan
ini.
- Turut membantu urusan ‘belakang’.
Secara hukum asal,
urusan dapur dan tetek bengek-nya memang merupakan kewajiban istri.
Namun, meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk ikut turun tangan membantu pekerjaan para istrinya.
Dan ini tidak terjadi melainkan karena sedemikian tingginya kemuliaan akhlak
yang beliau miliki.
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ
أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ
عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ
نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya kepada
Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau
melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang
membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat
air di ember.” (H.R. Ibnu Hibban).
Subhanallah! Di tengah kesibukannya yang luar biasa
padat berdakwah, menjaga stabilitas keamanan negara, berjihad, mengurusi
ekonomi umat dan lain-lain, beliau masih bisa menyempatkan diri mengerjakan
hal-hal yang dipandang rendah oleh banyak suami di zaman ini! Andaikan saja
para suami-suami itu mau mempraktekkan hal-hal tersebut, insyaAllah keharmonisan
rumah tangga mereka akan langgeng.
- Berpenampilan prima di hadapan istri dan keluarga.
Berikut Aisyah, salah
satu istri Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam menyampaikan
pengamatannya;
“أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ
بَدَأَ بِالسِّوَاكِ”
“Nabi shallallahu ‘alahi
wa sallam jika masuk ke rumahnya, hal yang pertama kali beliau lakukan
adalah bersiwak.” (H.R. Muslim).
Bersiwak ketika pertama
kali masuk rumah??! Suatu hal yang mungkin tidak pernah terbetik di benak kita.
Tetapi, begitulah cara Nabi kita shallallahu ‘alahi wa sallam menjaga
penampilannya di hadapan istri dan putra beliau. Ini hanya salah satunya lho!
Dan beginilah salah satu potret kemuliaan akhlak Rasulullah kepada keluarganya.
- Tidak bosan untuk terus menasehati istri dan keluarga.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingatkan,
“أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا”
“Ingatlah, hendaknya
kalian berwasiat yang baik kepada para istri.” (H.R. Tirmidzi dan
dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani).
Timbulnya riak-riak
dalam kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, jika hal
itu sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang antara suami dan istri,
atau bahkan menghancurkan bahtera pernikahan, tentulah sangat berbahaya. Agar
mimpi buruk itu tidaklah terjadi, seyogyanya ditumbuhkan budaya saling memahami
dan kebiasaan saling menasehati antara suami dan istri.
Daripada itu,
benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri hendaknya
tidaklah didiamkan begitu saja hanya karena dalih menjaga keharmonisan rumah
tangga. Justru sebaliknya, kesalahan-kesalahan itu harus segera diluruskan. Dan
tentunya hal itu harus dilakukan dengan cara yang elegan: tutur kata yang
lembut, raut muka yang manis dan metode yang tidak menyakiti hati pasangannya.
Epilog
Semoga tulisan sederhana
ini bisa dijadikan sebagai salah satu sarana instrospeksi diri –terutama bagi
mereka yang menjadi panutan orang banyak, seperti: da’i, guru, ustadz, pejabat
dan yang semisalnya- untuk terus berusaha meningkatkan kualitas muamalah para
panutan itu terhadap keluarga mereka masing-masing. Jika sudah demikian,
berarti mereka telah betul-betul berhasil menjadi qudwah luar maupun
dalam. Wallahu a’la wa a’lam.
Pengertian
Akhlak Mulia
Akhlak.
Kajian Akhlak Tauhid. Akhlak berarti prilaku, sikap, perbuatan, adab dan
sopan santun. Akhlak mulia berati seluruh prilaku umat manusia yang sesuai
dengan tuntunan Al-Quran dan Hadist yaitu adab sopan santun yang
dicontohkan dan diajarkan Rasulullah Muhammad SAW kepada kepada seluruh umat
manusia ketika beliau masih hidup. Akhlak beliau adalah Al-Quran.
Akhlak
atau adab sopan santun yang telah dicontohkan dan diajarkan Rasulullah Muhammad
SAW itu meliputi akhlak manusia kepada Allah SWT dan Akhlak terhadap sesama
ciptaan Allah, termasuk didalamnya akhlak terhadap diri sendiri karena diri
sendiri itu termasuk ciptaan Allah Juga, lahir dan batin.
Secara
garis besar, akhlak mulia itu dapat dikelmpokkan kedalam dua kelompok yaitu:
1
|
Akhlak kepada Allah
|
Akhlak mulia kepada Allah berati mengikuti seluruh perintah
yang telah disampikan Allah kepada Rasul yang Maha Mulia Muhammad SAW.
Seluruh perintah tersebut sudah tercatat dalam Al-Quran dan Hadist.
|
|
2
|
Akhlak kepada ciptaan Allah
|
Akhlak
terhadap ciptaan Allah meliputi segala prilaku, sikap, perbuatan, adab dan
sopan santun sesama ciptaan Allah yang terdiri atas ciptaan Allah yang gaib
dan ciptaan Allah yang nyata, benda hidup dan benda mati.
|
Mengingat
sangat luasnya cakupan akhlak ini karena menyangkut seluruh aspek kehidupan
manusia, maka secara garis besar struktur akhlak mulia terhadap seluruh ciptaan
Allah itu dapat digambarkan seperti struktur sederhana berikut ini.
1. Ciptaan Allah yang gaib
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. Ciptaan Allah yang Nyata
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Walau
struktur yang disampaikan masih sangat jauh dari lengkap dan sempurna, namun
diharapkan akan bisa memberikan gambaran cakupan akhlak mulia yang sudah
dicontohkan dan diajarkan Rasulullah Muhammad SAW
Seluruh
sikap dan perilku serta adab sopan santun terhadap semua ciptaan Allah sudah
termuat dan tercantum dalam Al-Quran dan Hadist. Tinggal bagaimana kita bisa
mempelajarinya secara benar dan teliti serta mengamalkannya
Pembahasan
masalah Akhlak adalah pembahasan yang sangat luas, sama luasnya dengan seluruh
asoek kehidupan manusia serta variasi – variasinya.
Secara
garis besar fungsi dan tujuan pengamalan akhlak mulia bagi umat manusia adalah
:
1. Sebagai pengamalan Syariat Islam
Sebagai pengamalan Syariat Islam. Islam sebagai agama rahmat
bagi seluruh alam semeste telah ,e,berikan tuntunan prilaku dan etika secar
sempurna, sehingga dengan niat karena Allah SWT, pengamalan akhlak yang mulia
itu insya Allah akan menjadi ibadah bagi umat islam yang mengamalkanya.
2. Sebagai Identias
Sebagai Identias, Akhlak mulia ini diperuntukkan oleh Allah
kepada manusia yang berakal budi karena dengan tuntunan akhlak yang mulia
akanbisa membedakan antara manusia denga hewan.
3. Pengatur Tatanan Sosial
Akhlak Mulia Sebagai Pengatur Tatanan Sosial berarti dengan
pengamalan akhlak mulia yang sudah dicontohkan oleh yang Mulia Saydina Muhammad
SAW mengukuhkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa dan
lepas dari pengaruh lingkungannya. Dengan akhlak mulia ini tatanan sosial yang
terbentuk semakin memberikan makna dan nilai yang tidak saling merugikan.
4. Rahmat Bagi Seluruh Alam
Akhlak Mulia Sebagai Rahmat Bagi Seluruh Alam berarti akhlak
mulia yang diperuntukkan bagi manusia tidak hanya mengatur tatanan hubungan
manusia dengan manusia lainnya tetapi juga hubungan antara manusia dengan
makhluk – makluk lain selian manusia dan alam sekitarnya.
5. Perlindungan Diri dan Hak Azazi Manusia ( HAM )
Akhlak Mulia Sebagai Perlindunagn Diri dan Hak Azazi Manusia
( HAM ) berarti dengan menjalin hubungan yang baik berdasarkan hukum dan
syariat agama akan terbentuk hubungan yang saling menghargai dan saling
menguntungkan.
Selanjutnya
secara bertahap kita akan mencoba melakukan kajian akhlak mulia ini sesuai
dengan aturan dan tatanan ilmu tauhid yang benar dan yang menjadi acuan dalam
kajian K-I-T-A.
Alhamdulillahi wahdah,
wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah…
Prolog
“Masya Allah, akhlak
pak anu bagus banget lho!” kata seorang bapak-bapak ‘mempromosikan’
rekan kerjanya.
“Buktinya apa pak?”
tanya lawan bicaranya.
“Kalau di kantor ia
ramah banget, apalagi kalo sedang berhadapan dengan bosnya!” jawabnya.
“Wuih, bu anu
akhlaknya baik banget!” komentar seorang ibu-ibu tatkala membicarakan salah
satu tetangganya.
“Darimana ibu tau?”
tanya temannya.
“Itu lho jeng,
kalau di arisan RT, dia tuh ramah banget!” sahutnya.
Begitulah kira-kira cara
kebanyakan kita menilai mulia-tidaknya akhlak seseorang. Sebenarnya, pola
penilaian seperti itu tidaklah mutlak keliru. Hanya saja kurang jeli. Sebab,
sangat memungkinkan sekali seseorang itu memiliki dua akhlak yang diterapkannya
pada dua kesempatan yang berbeda. Berakhlak mulia di satu tempat, tetapi tidak
demikian di tempat yang lain. Itu tergantung kepentingannya.
Lantas, bagaimanakah
Islam membuat barometer penilaian kemuliaan akhlak seorang itu? Tulisan berikut
berusaha sedikit mengupas permasalahan tersebut.
Islam Agama Akhlak
Di antara tujuan utama
diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain untuk
menegakkan tauhid di muka bumi, adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak umat manusia. Sebagaimana dijelaskan dengan gamblang dalam sabda
beliau,
“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”
“Aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.” (H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan
al-Albani).
Sedemikian besar
perhatiannya terhadap perealisasian akhlak, Islam tidak hanya menjelaskan hal
ini secara global, namun juga menerangkannya secara terperinci. Bagaimanakah
akhlak seorang muslim kepada Rabb-nya, keluarganya, tetangganya, bahkan
kepada hewan dan tetumbuhan sekalipun!
Di antara hal yang tidak
terlepas dari sorotannya ialah penjelasan tentang barometer akhlak mulia.
Yakni, kapankah seseorang itu berhak dinilai memiliki akhlak mulia. Atau dengan
kata lain: sisi apakah yang bisa dijadikan ‘jaminan’ bahwa seseorang itu akan
berakhlak mulia pada seluruh sisi kehidupannya apabila ia telah berakhlak mulia
pada sisi yang satu itu?
Barometer Akhlak Mulia
Panutan kita Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan permasalahan di atas dalam sabdanya,
“خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي”
“Sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di
antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (H.R. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa
hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan al-Albani menilai hadits
tersebut sahih).
Hadits di atas terdiri
dari dua bagian. Pertama, penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Kedua,
tentang siapakah yang pantas dijadikan panutan dalam hal tersebut.
Dalam kaitan dengan hal
di atas, penulis berusaha sedikit mengupas dua bagian tersebut di atas
semampunya:
Pertama: Mengapa
berakhlak mulia kepada keluarga, terutama terhadap istri dan anak-anak,
dijadikan barometer kemuliaan akhlak seseorang?
Sekurang-kurangnya, wallahu
a’lam, ada dua hikmah di balik peletakan barometer tersebut [disarikan dari
kitab al-Mau'izhah al-Hasanah fi al-Akhlâq al-Hasanah, karya Syaikh
Abdul Malik Ramadhâni (hal. 77-79)]:
a.
Sebagian besar waktu yang dimiliki seseorang dihabiskan di dalam rumahnya
bersama istri dan anak-anaknya. Andaikata seseorang itu bisa bersandiwara
dengan berakhlak mulia di tempat kerjanya –yang itu hanya memakan waktu
beberapa jam saja- belum tentu ia bisa bertahan untuk terus melakukannya di
rumahnya sendiri. Dikarenakan faktor panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk
‘bersandiwara’. Justru yang terjadi, saat-saat itulah terlihat akhlak aslinya.
Ketika bersandiwara,
bisa saja dia membuat mukanya manis, tutur katanya lembut dan suaranya halus.
Namun, jika itu bukanlah watak aslinya, dia akan sangat tersiksa dengan akhlak
palsunya itu jika harus dipertahankan sepanjang harinya.
Kebalikannya, seseorang
yang memang pembawaan di rumahnya berakhlak mulia, insya Allah secara
otomatis ia akan mempraktekkannya di manapun berada.
b.
Di tempat kerja, ia hanyalah berposisi sebagai bawahan, yang notabenenya adalah
lemah. Sebaliknya, ketika di rumah ia berada di posisi yang kuat; karena
menjadi kepala rumah tangga. Perbedaan posisi tersebut tentunya
sedikit-banyaknya berimbas pula pada sikapnya di dua alam yang berbeda itu.
Ketika di kantor, ia
musti menjaga ‘rapor’nya di mata atasan. Hal mana yang membuatnya harus
berusaha melakukan apapun demi meraih tujuannya itu. Meskipun untuk itu ia
harus memoles akhlaknya untuk sementara waktu. Itu tidaklah masalah. Yang
penting karirnya bisa terus menanjak dan gajinya pun bisa ikut melonjak.
Adapun di rumah, di saat
posisinya kuat, dia akan melakukan apapun seenaknya sendiri, tanpa merasa
khawatir akan dipotong gajinya ataupun dipecat.
Demikian itulah kondisi
orang yang berakhlak mulia karena kepentingan duniawi. Lalu, bagaimanakah
halnya dengan orang yang berakhlak mulia karena Allah? Ya, dia akan terus
berusaha merealisasikannya dalam situasi dan kondisi apapun, serta di manapun
ia berada. Sebab ia merasa selalu di bawah pengawasan Dzat Yang Maha melihat
dan Maha mengetahui.
Kedua: Beberapa potret
kemuliaan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap
keluarganya.
Sebagai teladan umat,
amatlah wajar jika praktik keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam bergaul dengan keluarganya kita pelajari. Dan tentu saja lautan kemuliaan
akhlak beliau terhadap keluarganya tidak bisa dikupas dalam lembaran-lembaran
tipis ini. Oleh karena itu, di sini kita hanya akan menyampaikan beberapa
contoh saja. Hal itu hanya sekadar untuk memberikan gambaran akan permasalahan
ini.
- Turut membantu urusan ‘belakang’.
Secara hukum asal,
urusan dapur dan tetek bengek-nya memang merupakan kewajiban istri.
Namun, meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk ikut turun tangan membantu pekerjaan para istrinya.
Dan ini tidak terjadi melainkan karena sedemikian tingginya kemuliaan akhlak
yang beliau miliki.
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ
أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ
عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ
نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya kepada
Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau
melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang
membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat
air di ember.” (H.R. Ibnu Hibban).
Subhanallah! Di tengah kesibukannya yang luar biasa
padat berdakwah, menjaga stabilitas keamanan negara, berjihad, mengurusi
ekonomi umat dan lain-lain, beliau masih bisa menyempatkan diri mengerjakan
hal-hal yang dipandang rendah oleh banyak suami di zaman ini! Andaikan saja
para suami-suami itu mau mempraktekkan hal-hal tersebut, insyaAllah keharmonisan
rumah tangga mereka akan langgeng.
- Berpenampilan prima di hadapan istri dan keluarga.
Berikut Aisyah, salah
satu istri Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam menyampaikan
pengamatannya;
“أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ
بَدَأَ بِالسِّوَاكِ”
“Nabi shallallahu ‘alahi
wa sallam jika masuk ke rumahnya, hal yang pertama kali beliau lakukan
adalah bersiwak.” (H.R. Muslim).
Bersiwak ketika pertama
kali masuk rumah??! Suatu hal yang mungkin tidak pernah terbetik di benak kita.
Tetapi, begitulah cara Nabi kita shallallahu ‘alahi wa sallam menjaga
penampilannya di hadapan istri dan putra beliau. Ini hanya salah satunya lho!
Dan beginilah salah satu potret kemuliaan akhlak Rasulullah kepada keluarganya.
- Tidak bosan untuk terus menasehati istri dan keluarga.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingatkan,
“أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا”
“Ingatlah, hendaknya
kalian berwasiat yang baik kepada para istri.” (H.R. Tirmidzi dan
dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani).
Timbulnya riak-riak
dalam kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, jika hal
itu sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang antara suami dan istri,
atau bahkan menghancurkan bahtera pernikahan, tentulah sangat berbahaya. Agar
mimpi buruk itu tidaklah terjadi, seyogyanya ditumbuhkan budaya saling memahami
dan kebiasaan saling menasehati antara suami dan istri.
Daripada itu,
benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri hendaknya
tidaklah didiamkan begitu saja hanya karena dalih menjaga keharmonisan rumah
tangga. Justru sebaliknya, kesalahan-kesalahan itu harus segera diluruskan. Dan
tentunya hal itu harus dilakukan dengan cara yang elegan: tutur kata yang
lembut, raut muka yang manis dan metode yang tidak menyakiti hati pasangannya.
Epilog
Semoga tulisan sederhana
ini bisa dijadikan sebagai salah satu sarana instrospeksi diri –terutama bagi
mereka yang menjadi panutan orang banyak, seperti: da’i, guru, ustadz, pejabat
dan yang semisalnya- untuk terus berusaha meningkatkan kualitas muamalah para
panutan itu terhadap keluarga mereka masing-masing. Jika sudah demikian,
berarti mereka telah betul-betul berhasil menjadi qudwah luar maupun
dalam. Wallahu a’la wa a’lam.
Pengertian
Akhlak Mulia
Akhlak.
Kajian Akhlak Tauhid. Akhlak berarti prilaku, sikap, perbuatan, adab dan
sopan santun. Akhlak mulia berati seluruh prilaku umat manusia yang sesuai
dengan tuntunan Al-Quran dan Hadist yaitu adab sopan santun yang
dicontohkan dan diajarkan Rasulullah Muhammad SAW kepada kepada seluruh umat
manusia ketika beliau masih hidup. Akhlak beliau adalah Al-Quran.
Akhlak
atau adab sopan santun yang telah dicontohkan dan diajarkan Rasulullah Muhammad
SAW itu meliputi akhlak manusia kepada Allah SWT dan Akhlak terhadap sesama
ciptaan Allah, termasuk didalamnya akhlak terhadap diri sendiri karena diri
sendiri itu termasuk ciptaan Allah Juga, lahir dan batin.
Secara
garis besar, akhlak mulia itu dapat dikelmpokkan kedalam dua kelompok yaitu:
1
|
Akhlak kepada Allah
|
Akhlak mulia kepada Allah berati mengikuti seluruh perintah
yang telah disampikan Allah kepada Rasul yang Maha Mulia Muhammad SAW.
Seluruh perintah tersebut sudah tercatat dalam Al-Quran dan Hadist.
|
|
2
|
Akhlak kepada ciptaan Allah
|
Akhlak
terhadap ciptaan Allah meliputi segala prilaku, sikap, perbuatan, adab dan
sopan santun sesama ciptaan Allah yang terdiri atas ciptaan Allah yang gaib
dan ciptaan Allah yang nyata, benda hidup dan benda mati.
|
Mengingat
sangat luasnya cakupan akhlak ini karena menyangkut seluruh aspek kehidupan
manusia, maka secara garis besar struktur akhlak mulia terhadap seluruh ciptaan
Allah itu dapat digambarkan seperti struktur sederhana berikut ini.
1. Ciptaan Allah yang gaib
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. Ciptaan Allah yang Nyata
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Walau
struktur yang disampaikan masih sangat jauh dari lengkap dan sempurna, namun
diharapkan akan bisa memberikan gambaran cakupan akhlak mulia yang sudah
dicontohkan dan diajarkan Rasulullah Muhammad SAW
Seluruh
sikap dan perilku serta adab sopan santun terhadap semua ciptaan Allah sudah
termuat dan tercantum dalam Al-Quran dan Hadist. Tinggal bagaimana kita bisa
mempelajarinya secara benar dan teliti serta mengamalkannya
Pembahasan
masalah Akhlak adalah pembahasan yang sangat luas, sama luasnya dengan seluruh
asoek kehidupan manusia serta variasi – variasinya.
Secara
garis besar fungsi dan tujuan pengamalan akhlak mulia bagi umat manusia adalah
:
1. Sebagai pengamalan Syariat Islam
Sebagai pengamalan Syariat Islam. Islam sebagai agama rahmat
bagi seluruh alam semeste telah ,e,berikan tuntunan prilaku dan etika secar
sempurna, sehingga dengan niat karena Allah SWT, pengamalan akhlak yang mulia
itu insya Allah akan menjadi ibadah bagi umat islam yang mengamalkanya.
2. Sebagai Identias
Sebagai Identias, Akhlak mulia ini diperuntukkan oleh Allah
kepada manusia yang berakal budi karena dengan tuntunan akhlak yang mulia
akanbisa membedakan antara manusia denga hewan.
3. Pengatur Tatanan Sosial
Akhlak Mulia Sebagai Pengatur Tatanan Sosial berarti dengan
pengamalan akhlak mulia yang sudah dicontohkan oleh yang Mulia Saydina Muhammad
SAW mengukuhkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa dan
lepas dari pengaruh lingkungannya. Dengan akhlak mulia ini tatanan sosial yang
terbentuk semakin memberikan makna dan nilai yang tidak saling merugikan.
4. Rahmat Bagi Seluruh Alam
Akhlak Mulia Sebagai Rahmat Bagi Seluruh Alam berarti akhlak
mulia yang diperuntukkan bagi manusia tidak hanya mengatur tatanan hubungan
manusia dengan manusia lainnya tetapi juga hubungan antara manusia dengan
makhluk – makluk lain selian manusia dan alam sekitarnya.
5. Perlindungan Diri dan Hak Azazi Manusia ( HAM )
Akhlak Mulia Sebagai Perlindunagn Diri dan Hak Azazi Manusia
( HAM ) berarti dengan menjalin hubungan yang baik berdasarkan hukum dan
syariat agama akan terbentuk hubungan yang saling menghargai dan saling
menguntungkan.
Selanjutnya
secara bertahap kita akan mencoba melakukan kajian akhlak mulia ini sesuai
dengan aturan dan tatanan ilmu tauhid yang benar dan yang menjadi acuan dalam
kajian K-I-T-A.
Komentar
Posting Komentar